Rabu, 31 Oktober 2012

sejarah perkembangan Hadits


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H. Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash al-Qur'an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur'an. Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa Tabi'in Besar. Bahkan Khalifah Umar ibn Khattab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang lain.
Periodisasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H). Terlepas dari naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban Islam. Yang pada akhirnya menjadikan para Ulama Hadits terinspirasi untuk membukukan hadits itu agar tidak mengalami kemusnahan. Dan sampai sekarang kitab-kitab tersebut semakin berkembang di kalangan ummat islam.
1.2 Rumusan Masalah
1.  Apa pengertian Hadits?
2. Bagaimana Sejarah perkembangan Hadist dari masa ke masa dan Sistem Pembukuannya
3.  Sebutkan macam hadts berikan contoh hadits nabi?
4. Berikan penjelasan tentang pembagian dan macam-macam Hadits serta tinjauan pembagian Hadits!
1.3 Tujuan
-          Untuk mengetahui pengertian dari hadits itu sendiri;
-          Untuk mengetahui bagaima sejarah hadits itu sejak dari zaman Rasulullah sampai pada masa sekarang;
-          Mengetahui macam dan contoh hadits nabi;
-          Mengetahui macam-macam  hadits beserta tinjauan pembagian Hadits.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hadits
A.    Pengertian Hadits
Menurut pengertian secara bahasa, sunnah berarti:  [1]الطريقة المسلوكة, Atau jalan yang ditempuh, baik terpuji maupun tidak sebagaimana sabda nabi SAW: “barang siapa yang memelopori mengerjakan suatu pekerjaan yang baik, maka baginya mendapat pahala atas perbuatan itu dan pahala orang-orang yang mengerjakannya hingga hari Qiyamat. Dan barangsiapa memelopori mengerjakan suatu pekerjaan jahat, maka ia berdosa atas perbuatannya itu, dan menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya hingga hari Qiyamat.”
Menurut Istilah, para Ulama memberikan pengertian yang berbeda-beda menurut sudut mereka sendiri-sendiri. Menurut Ulama Hadist, sunnah berarti segala yang dinukilkan dari nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrirnya atau selain itu[2]. Menurut Ulama Ushul Fiqh, sunnah yaitu segala yang dinukilkan  dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum. Dari kedua pengertian tersebut, terdaoat perbedaan antara sudut pandang Ulama Hadist dengan Ulama Ushul Fiqh. Ulama Hadist memandang Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang sempurna yang dapat dijadikan suri tauladan bagi seluruh Ummat Islam, sedangkan Ulama Ushul Fiqh memandang Nabi Muhammad SAW sebagai Musyarri’ yaitu orang yang membuat Undang-undang atau wetgever di samping Allah SWT.
Sedangkan menurut Ulama Fiqh, sunnah adalah perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain, suatu amalan yang apabila dikerjkan mendapat pahala sedang apabila tidak dilakukan tidak mendapat apa-apa. Sedangkan menurut Ulama Da’wah, sunnah diartikan sebagai kebalikan daripada bid’ah.
B.     Sebab-sebab Hadits dinamai dengan Hadits
1.      Menurut Az-Zumakhsyary:
Karena pada saat kita meriwayatkan Hadits[3], kita menyatakan:
ثنى النّبىّ صلىّ اللهُ عليه وسلم قال......حدّ
   “dia menceritakan kepadaku, bahwa nabi bersabda....”
2.      Menurut Al-Kirmany dan Ibnu Hajar Al-Asqalany:
Karena ditinjau dari segi “kebaruannya” dan pula sebagai perimbangan terhadap Al-Quran yang bersifat Qadim, azaly. Dr. Subhy Shalih menyatakan bahwa para Ulama telah menghindarkan diri untuk menggunakan istilah “Haditsullah” untuk Al-Quran.

C.     Sinonim Istilah hadits
Adapun sinonim dari Hadits adalah: As-Sunah, Al-Khabar, dan Al-Atsar dengan pengertian[4] sebagai berikut:
1.      As-Sunah
Sunah  menurut  bahasa  berarti  jalan yang ditempuh, adat istiadat, suatu kebiasaan, dan cara yang diadakan. Makna sunah yang lain adalah tradisi yang kontinu (berkelanjutan). Sedangkan sunah menurut istilah terdapat beberapa perbedaan di kalangan ulama’, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Menurut ulama’ ahli Hadits (muhadditsin), sunah sama dengan hadits. Diantara ulama ada yang mendefinisikan dengan ungkapan yang singkat yaitu segala perkataan Nabi, perbuatannya dan segala tingkah lakunya.
b.      Menurut ulama’ Ushul Fikih adalah sesuatu yang yang diriwayatkan dari Nabi baik yang bukan berupa Al-Quran yang berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang patut dijadikan dalil hukum syara’.
Sunah menurut ulama ushul fikih hanya perbuatan yang dapat dijadikan dasar hukum Islam. Jika suatu perbuatan Nabi tidak dijadikan dasar hukum seperti makan, minum, tidur dan lain-lain maka pekerjaan biasa sehari-hari tersebut tidak dikatakan sunah.
a.       Menurut ulama Fikih adalah sesuatu ketetapan yang datang dari Rasulullah dan tidak termasuk kategori fardhu dan wajib, maka sunah menurut mereka adalah sifat syara’ yang menuntut pekerjaan tapi tidak wajib dan tidak disisksa bagi yang meninggalkan.
b.      Menurut ulama Fikih, sunah dilihat dari segi hukum sesuatu yang datang dari Nabi tetapi hukumnya tidak wajib, diberi pahala bagi yang megerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya. Contohnya: shalat sunah, puasa sunah, dan lain-lain.
2.      Al-Atsar
Atsar menurut bahasa adalah bekas sesuatu[5]. Al-Zarkasyi mengartikan Al-Atsar sebagai sesuatu yang disandarkan kepada sahabat semata. Dengan demikian atsar tidak mempunyai hubungan langsung ataupun tidak langsung dengan Nabi. Menurut istilah ada dua pendapat, pertama, atsar adalah sinonim dari hadits. Kedua, atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in baik perkataan maupun perbuatan. Sebagian ulama’ mendefinisikan: sesuatu yang datang dari selain Nabi yaitu dari para sahabat, tabi’in dan atau orang-orang setelahnya.

3.      Al-Khabar
Menurut bahasa khabar adalah berita, pemberitahuan, laporan, ha mengenai peristiwa, kejadian, dan keadaan. Sedangkan dari segi istilah khabar berarti sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, sahabat dan tabi’in. Dengan demikian sumber atau sandaran dari Al-Khabar dapat dari bebagai macam atau beberapa orang termasuk Nabi, seperti sahabat dan tabi’in.
Mayoritas ulama melihat Hadits lebih khusus yang datang dari Nabi, sedang khabar sesuatu yang datang darinya dan dari yang lain, termasuk berita umat terdahulu, para Nabi, dan lain-lain. Misalnya Nabi Isa berkata:…, Nabi Ibrahim berkata:… dan lain-lain, termasuk khabar bukan hadits.

D.    Perbedaan Hadits dengan sinonimnya
Ulama’hadits menyatakan bahwasanya hadits, sunah, atsar dan khabar adalah berarti sama dan mereka tidak memandang ada perbedaan antara hadits dan sinonimnya sedangkan Ulama Fikih dan Ulama Ushul Fikih memandang bahwa hadits dan sinonimnya mempunyai beberapa perbedaan antara lain:
1.      hadits sandarannya Nabi, aspek dan spesifikasinya meliputi perkataan, perbuatan dan persetujuan dan sifatnya khusus sekalipun dilakukan Cuma satu kali;
2.      sunah sandarannya Nabi dan sahabat, aspek dan spesifikasinya hanya pada perbuatan saja dan sifatnya menjadi tradisi;
3.      khabar sandaranya Nabi dan selainnya, aspek dan spesifikasinya meliputi perkataan dan oerbuatan dan bersifat lebih umum; dan
4.      atsar sandarannya sahabat dan abi’in, aspek dan spesifikasinya meliputi perkataan dan perbuatan dan bersifat umum.[6]
2.2 Sejarah perkembangan Hadist dari masa ke masa dan Sistem Pembukuannya
A.    Keadaan sunnah/Hadist pada masa nabi
Pada Zaman nabi SAW hadist-hadist tersebut belum dibukukan, dikarenakan ada larangan  penulisan  hadist tersebut[7], nabi pun bersabda:
لا تكتبوا عنى شيأ غير القرأن, فمن كتب عنى شيأ غير القرأن فليمحه
“ jangan menulis apa-apa selain Quran dari saya, barang siapa yang menulis apa-apa dari saya selain Quran (ya’ni: Hadist) hendaklah menghapusnya”.
Dari larangan penulisan tersebut, terdapat hikmah yang perlu kita ketahui, yaitu:
1.                           Karena pada waktu itu para sahabat Nabi SAW masih banyak yang  “ummi” ( tidak bisa baca dan tulis), sedang waktu itu banyak wahyu Illahi yang turun (Quran), jadi Nabi Mengkhawatirkan jikalau mereka tidak dapat membedakan Quran dan Hadist hingga terjadi percampuran antara keduanya.
2.                           Nabi SAW percaya dengan kekuatan Hapalan para sahabatnya dan kemampuan atas memelihara semua ajarannya (Hadist) tanpa harus dengan catatan. Dan secara tidak langsung Nabi melatih mereka untuk percaya dengan kemampuan diri sendiri.
الإعتماد على النفس أساس النجاح
“ Percaya atas diri sendiri adalah pangkal kebahagiaan”.
Tetapi di samping ada hadist yang melarang untuk menulis hadist nabi, ada juga hadist yang menerangkan agar supaya/membolehkan untuk menulis hadist nabi SAW, ialah sabda nabi:
أكتب عنى, فوالذى نفسى بيده ما خرج من فمى إلا حق
“Tulislah dari saya, demi dzat yang dariku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang haq(benar)”.
Dengan adanya hadist tersebut yang tampaknya bertentangan, maka ada beberapa pendapat yang muncul, yaitu:
1.    Hadist yang melarang penulisan hadist tersebut telah dinsakh dengan hadist yang membolehkannya (pendapat Jumhur).
2.    Hadist yang melarang tersebut, ditujukan kepada orang yang kuat ingatannya( hafalannya), begitu sebaliknya.
3.    Hadist yang melarang tersebut tertuju kepada orang yang menulis Quran dan Hadist dalam satu lembaran, karena khawatir bercampur antara keduanya.

B.  Keadaan Hadist pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin (10 H - 40 H)
Pada masa ini hadist-hadist tersebut belum juga dibukukan meskipun ummat islam sangat memerlukan hadist-hadist tersebut selain Quran untuk dijadikan pedoman hidup dalam menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi. Penyampaian  hadist pada masa ini dilakukan dengan cara lisan dan hanya ketika benar-benar diperlukan atau saat mengahadapi masalah yang memerlukan penjelasan hukum dari Hadist[8].

C.   Keadaan hadist setelah masa Khulafa’ Ar-Rasyidin ( 41 H – 100 H)
Pada masa ini, mulai muncul pepecahan  d i kalangan ummat Islam karena soal  khilafah/pemerintahan/politik, sehingga timbullah perang saudara Ali dan Muawiyah, dan berakhir dengan perang siffin[9].  Demi menjaga kedamaian ummat Islam, maka Ali menerima permintaan perdamaian dan musyawarah dari pihak Muawiyah. Tetapi pada masa itu ummat islam terpecah menjadi 3 golongan, ialah:
1.      Khawarij, ialah golongan pemberontak yang tidak menyetujui perdamaian dan permusyawaratan dalam khilafah (tahkim).
2.      Syi’ah, ialah golongan yang fanatic dan mengkultuskan pada Ali.
3.      Jumhur, ialah ummat islam yang tidak termasuk keduannya, tetapi mereka tepecah menjadi 3 golongan, yaitu:
- Golongan yang mendukung pemerintahan Ali;
- Golongan yang mendukung muawiyah;
- Golongan netral (independent).
a)      Permulaan penulisan (pembukuan) Hadist
Pada akhir abad I, Karena takut lenyapnya ajaran-ajaran nabi SAW melihat  banyak para sahabat yang telah wafat maka kholifah umar bin abdul aziz beranggapan perlu sekali untuk membukukan hadist-hadist Nabi SAW.
b)      System pembukuan Hadist pada masa ini
Adalah penulis menghimpun semua hadist yang membahas satu masalah saja dalam satu kitab karangan.

D)  Keadaan hadist pada abad ke II (101 H- 200H)
Setelah dirintis oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab Az-Zuhri sekitar tahun 100H, penulisan hadist tersebut diteruskan oleh Ulama Hadist. Ulama hadist pada masa ini diantaranya, yaitu:

1.      Ibnu Juraij (wafat tahun 150H)
2.      Al-Auza’I di Syria (wafat tahun 156H)
3.      Syufyan Ats-Tsauri di Kufah (wafat tahun 161H)
4.      Imam Malik di Madinah (wafat tahun 179H)
System pembukuan Hadist pada masa ini
Para penulis menghimpun hadist-hadist mengenai masalah yang sama dalam satu bab, kemudian bab-bab tersebut dijadikan satu sehingga tercampur antara hadist dan fatwa sahabat dan tabi’in.

E)                Keadaan hadist dalam abad III H
Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin, timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa' al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan hadits.
Meskipun masih banyak periwayat hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah, "Ketahuilah bahwa asal mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits untuk mengimbangi hadits golongan Syi'ah itu". Karena banyaknya hadits palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik menamai kota Iraq (pusat kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu".
Pada masa ini juga terjadi pertentangan hebat antara ulama kalam(dari kaum mu’tazilah) dengan ulama Hadist. Menurut kaum mu’tazilah Quran itu adalah Makhluk.

System pembukuan Hadist pada masa ini
Ada tiga system pembukuan Hadist, yaitu:
1.      Penulis menghimpun semua serangan (celaan) yang dilancarkan oleh Ulama-ulama kalam kepada pribadi Ulama-ulama hadist. Kemudian penulis menjawab dan menanggapi semua celaan tersebut dengan alasan yang kuat sehingga menjaga nama baik Ulama Hadist dan membersihkan Hadist-hadist yang telah dicatat.
2.      Pengarang menghimpun Hadist secara “musnad” yaitu menghimpun semua hadist dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah-masalahnya(isi Hadist) dan nilainya ( ada yang shohih, hasan dan dlaif).
3.      Penulis menghimpun Hadist-hadist  secara bab-bab seperti kitab fiqh dan tiap bab memuat hadist yang sama maudlu’nya(masalahnya).[10]


Tokoh-tokoh dalam Perkembangan Hadits
Pada masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut dengan al-Muktsirun fi al-Hadits, mereka adalah:
a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.
Sedangkan dari kalangan Tabi'in, tokoh-tokoh dalam periwayatan hadits sangat banyak sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, di antaranya :
a. Madinah
- Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
- Salim ibn Abdullah ibn Umar
- Sulaiman ibn Yassar
b. Makkah
- Ikrimah
- Muhammad ibn Muslim
- Abu Zubayr
c. Kufah
- Ibrahim an-Nakha'i
- Alqamah
d. Bashrah
- Muhammad ibn Sirin
- Qotadah
e. Syam
- Umar ibn Abdu al-Aziz (yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori kodifikasi hadits)
f. Mesir
-Yazid ibn Habib
g. Yaman
- Thaus ibn Kaisan al-Yamani

F)  Keadaan Hadist mulai permulaan abab IV H- tahun 656H
Menurut Adz-Dzahabi, tahun 300H adalah tahun pemisah antara Ulama Mutaqoddimin( Ulama sebelum tahun 300H) dengan Ulama Mutaakhkhirin  (Ulama sesudah tahun 300H)[11]. pada masa ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.      Keadaan Hadist pada abad IV H
Pada masa ini masih terdapat ulama hadist yang memilki kesanggupan serta kemampuan untuk menghimpun Hadist atas usaha sendiri, tidak mengutip dari kitab-kitab Hadist sebelumnya, dianataranya:
a.       AL-HAKIM (wafat tahun 405H)
b.      AD-DARUQUTHNI (wafat tahun 385H)
c.       IBNU HIBBAN (wafat tahun 354H)
d.      ATH-THABRANI (wafat tahun 360H)
2.      Keadaan Hadist pada abad V H s/d 656 H/ masa menghimpun dan menertibkan susunannya (Ashru Al-Jami’ wat Tartib)
Karya-karya ilmiah Ulama Hadist pada abad V H samapai tahun 656 H, hanya terbatas pada penghimpunan dan penyusunan Hadist-hadist secara teratur dan sistematis.
Karangan ilmiah pada masa ini diantaranya ialah:
a.       Menghimpun Hadist-hadist yang terdapat di kitab shahihain dalam satu kitab oleh Ibnul Furot ( wafat tahun 414H) dan Al-Baghowi ( wafat tahun 516 H).
b.      Menghimpun Hadist-hadist dari kuttub sittah dalam satu kitab oleh Ibnul Atsir Al-Jazari (wafat tahun 606 H).
c.       Mebghimpun Hadist-hadist menurut bidangnya. Oleh Ibnu Taimiyah (wafat tahun 656 H).
d.      Pengarang menyusun kitab “ Al-Athraf” ialah suatu kitab Hadist di mana pengarang menyebutkan sebagian (pemulaan) dari hadist yang dapat menunjukkan kelanjutannya.
G)     Keadaan Hadist mulai tahun 656 H – Sekarang
Setelah pemerintahan Abbasiyah jatuh, dan situasi ummat islam pada masa itu sangatlah memprihatinkan yang menyebabkan para Ulama tidak dapat dengan bebasnya menyampaikan dan menerima ajaran-ajaran Nabi SAW secara langsung dengan lisan/dari orang lain. Maka cara penyampaiannya pun dilakukan dengan jalan surat menyurat dan ijazah ( idzin yang diberikan kepada murid untuk meriwayatkan Hadist-hadist yang telah ditulis oleh guru dalam kitabnya)[12].
Pada masa ini, disebut dengan ‘ashr al-syarh wa al-jam’i wa al-takhrij wa al-bahts yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan. Para ulama berupaya mensyarah kitab-kitab Hadist yang sudah ada, menghimpun dan mengumpulkan yang sudah ada. Juga membahas dan mentakhrij hadist-hadist dalam kitab tertentu serta membahas kandungan kitab-kitab hadist terebut.
Kitab-kitab yang  dibuat oleh para Ulama pada masa ini adalah:
1.      Kitab Zawaid karangan Syihabuddin Ahmad Al-Bushiri (wafat tahun 852H) dan karangan Nuruddin Abu Hasan Ali-Haitamy (wafat tahun 807H)
2.      Jam’ul Jawami’ karangan Imam Syuyuti (911H);
Kemudian pada abad ke XII H sampai sekarang, dapat dikatakan bahwa sudah tidak lagi ada kegiatan untuk membukukan dan sebagainya dari kalangan para Ulama Hadist.[13]


2.3            Macam hadits dan Contoh Hadits Nabi SAW
Ada empat macam hadits nabi Saw ,serta banyak sekali contoh-contoh[14] hadits Nabi SAW yang sering kita jumpai. Ada beberapa macam hadits Nabi SAW, ialah:
a.      Yang berupa perkataan/Sabda:
عن عبد الله بن عمر وبن العاص رضى الله عنه قال: سمعت رسول الله ص م. يقول: إنَّ اللهَ يَقبِضُ العلمِ إئتزاعاً ينتزعه من العباد ولكنّ يقبضُ العلم يقبضُ العلماء حتى إذالم يبقِ عالما إتخد الناسُ رؤسا جُهَّالاً فسئلوافافتوا بغير علمٍ فضلوا وأضلوا (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “ Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra. Berkata: saya telah mendengar Rasullah SAW , bersabda: sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu itu dengan cara mencabut dari dadanya para hamba, tetapi dia mencabut ilmu dengan cara mencabut nyawa para Ulama. Sehingga bila telah tidak tinggal lagi seorang pun yang berilmu, manusia lalu mengambil mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Dan apabila mereka para pemimpin itu ditanya tentang sesuatu, mereka memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan”.  (Riwayat Bukhori dan Muslim)

عن هبى هريرة رضى الله عنه قال: قال النبىُّ ص.م. الإيمان بضعٌ و سبعون سعبة من الإيمان
 (رواه البخار و مسلم)
Artinya:”Dari Abu Hurairoh ra. Berkata: telah bersabda Nabi SAW: iman itu ada tujuh puluh cabang. Dan malu itu cabang dari iman (Riwayat Bukhori dan Muslim)[15]
b.      Yang berupa perbuatan:
عن جابر رضى الله عنه قال: كان رسول اللهِ صلىَّ اللهُ عليهِ و سلّمَ يصلىِّ علىَ راحلتهِ حيثُ توجّهتْ بإفاء ذا أراد ألفريضةَ نزل فاستقبل القبلة (رواه البخارى)
Artinya: “Dari Jabir ra. Berkata:Adalah Rasulullah SAW. Shalat di atas kendaraanya itu menghadap. Maka apabila beliau hendak shalat fardhu, beliau turun dari kendaraanya kemudian sholat mengahadap ke arah qiblat.” (Riwayat Bukhori)
عن أنس ابن مالك رضىَ اللهُ عنهُ قال: كان رسول اللهِ ص.م. إذاارتحل قبل أن تزيغ الشمس أخّر الظّهرُ الى وقت العصرِ ثمّ نزلَ فجمعَ بيّنهما, فإن زاغت الشمسُ قبل أن يرتحل صلىّ الظهرَ ثمّ ركِبَ.
 (رواه البخارى و مسلم)
Artinya:” dari Anas Ibn Malik ra. Berkata:Adalah Rasulullah SAW. Apabila berangkat bepergian sebelum tergelincir matahari, beliau mentakhirkan sholat dhuhur ke waktu ashar, kemudian berhenti  lalu menjamakkan sholat dhuhur dengan sholat ashar. Jika telah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat, beliaupun mengerjakan sholat Dhuhur, krmudian beliau berangkat mengendarai kendaraan.”(Riwayat Bukhori dan Muslim).

c.       Yang berupa Taqrir (pengakuan):
Yang dimaksud dengan taqrir (pengakuan) nabi ialah apabila Nabi mendiamkan atas perbuatan atau perkataan yang dilakukan oleh sahabat[16]. Satu contoh, pada suatu ketika Nabi bersama Khalid bin Walid berada dalam suatu jamuan makan yang dihidangkan daging biawak. Nabi tidak menegur atas adanya jamuan dari daging biawak tersebut. Dan tatkala Nabi dipersilahkan untuk memakannya, beliau bersabda:
لا ولكن لم يكن بأرضىِ قومىِ فأجدنى أعافُهُ
“Maafkan. Berhubung binatang ini tidak terdapat di kampung kaumku, aku jijik padanya”.
قال خالدٌ: فاجتززتهُ فأكلتهُ ورسول اللهِ ص.م. ينظر إلىّ
“Kata Khalid : Segera aku memotongnya dan memakannya, sedang Rasulullah SAW. Melihat padaku”.
d.      Yang berupa sifat/keadaan Nabi
عن البرّاءِبنِ عازبٍ رضى اللهُ عنهما: كان رسول اللهِ ص.م. أحسن الناس وجهاً و أحسنهُ خلقاً ليس بالطويل البائن ولا با لقصير . (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Dari Al-Bara’i bin Al-‘Azib radliyallahu an huma berkata: Adalah Rasulullah SAW. Itu sebaik-baik manusia mengenai parasnya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukanlah orang yang jangkung dan bukan pula orang yang pendek”. (Riwayat Bukhori dan Muslim).

عن أنسٍ بن مالكٍ رضى الله عنه قال: كان شعر رسول الله ص.م. رجلاً ليس بالسبط ولا الجعد بين اذنيهِ وعا تقه. (رواه البخارى و مسلم)
Artinya:”Dari Anas bin Malik ra. Berkata: Rambut Rasulullah SAW. Tidaklah terlalu keriting dan tidaklah terlalu lurus. Panjangnya anatara kedua telinga dan bahu beliau”. (Riwayat Bukhori dan Muslim)
2.4              Pembagian dan Macam-macam Hadits, serta tinjauan pembagian Hadits
A.            Latar Belakang adanya pembagian Hadits
Sejarah tentang periwayatan Hadits sangatlah berbeda dengan sejarah  periwayatan Al-Quran. Periwayatan Al-Quran sejak zaman Nabi SAW sampai ke generasi berikutnya tetaplah terpelihara baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk hafalan. Periwayatan Al-Quran dari Nabi kepada sahabat berlangsung secara terbuka dan umum, sehingga tak heran jumlah para penghafal Al-quran tak terhitung. Selain itu, Al-Quran juga sudah tidak diragukan lagi jika sampai sekarang tetap terpelihara keorisinalnya. Dilihat dari segi periwayatannya Al-Quran berkedudukan sebagai:قطعىُّ الورودِ   Artinya: periwayatannya tidak diragukan lagi kebenarannya.[17]
B.                 Macam-macam Tinjauan (segi) pembagian Hadits
Para Ulama Hadits telah berusaha membagi Hadits-hadits Nabi dipandang dari berbagai segi, tetapi setelah itu pembagian itu masih dibagi lagi dalam beberapa macam.
1.   Pembagian dilihat dari jumlah perawinya
Dilihat dari segi jumlah perawinya, maka hadits Nabi dibagi menjadi:
a)               Hadits Mutawatir;
b)               Hadits Mashur;
c)               Hadits Ahad.
Pembagian ini telah disepakati oleh sebagian besar Ulama Fiqh dan Ulama Ushul. Sedangkan menurut Ulama Hadits, cukup dibagi dua, yakni: Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.
Kemudian , hadits Ahad dibagi menjadi dua, yaitu: Hadits Masyhur dan Hadits Ghairu Masyhur. Untuk Hadits Ghairu Masyhur dibagi lagi menjadi dua, ialah: Hadits Aziz dan Hadits gharib.
2.   Pembagian dilihat dari segi yang menyampaikan berita
Menurut Istilah Prof. Hasbi, hadits dalam segi penyampaian  berita ini terbagi menjadi 3, yaitu: Hadits Marfu’; Hadits Mauquf; dan Hadits Maqtu’.

3.   Pembagian dilihat dari segi persambungan sanad
Dalam segi persambungan sanadnya , Hadits dibagi menjadi:
1.     Hadits yang bersambung sanadnya. Hadits ini dibagi lagi, ialah: Hadits Musnad dan Hadits Muttasil (Mausul).
2.    Hadits yang tidak bersambung sanadnya. Hadits ini terbagi menjadi:
-  Hadits Mu’allaq
-  Hadits Munqathi’
-  Hadits Mu’dlal
-  Hadits Mudallas
-  Hadits Mursal
4.   Pembagian dilihat dari segi penyandarannya kepada Allah
Di antara  Hadits Nabi, ada yang oleh Nabi sendiri diawali dengan pernyataan berasal dari Allah, dengan pernyataan: قال اللهُ تعلى atau  قال عز وجلّatau kata-kata lain yang semakna. Hadits yang demikian ini disebut dengan Hadits Qudsy. Dan yang tidak termasuk hadits Qudsy disebut Hadits  Nabawy.
5.   Pembagian dilihat dari segi alitas sanad, perawi dan matan
Melihat kenyataan, bahwa sanad Hadits ada yang bersambung dan ada pula yang tidak bersambung, kemudian perawinya ada yang dapat dipercaya dan ada yang tidak, serta kandungan haditsnya ada yang janggal dan ada pula yang wajar. Dalam segi kualitas sanad, perawi dan matannya ini para Ulma hadits telah sepakat membagi dalam 3 macam:
-          Hadits Shahih;
-          Hadits Hasan; dan
-          Hadits Dha’if.
Keseluruhan pembagian tersebut, pada hakikatnya selain bertujuan untuk mempermudah klasifikasinya, juga ditujukan untuk memperoleh keyakinan (dugaan yang keras) tentang sejauh mana validitas Hadits itu berasal dari Nabi Muhammad SAW. Jadi, kita bukan mempersoalkan tentang sabda Nabi sebagai ajaran, tetapi mempersoalkan tentang apakah yang dinyatakan orang sebagai Hadits Nabi itu benar-benar berasal dari Nabi SAW. Sebab, jikalau sudah yakin bahwa riwayat tersebut benar dari Nabi SAW, maka tidak ada lagi alasan unruk tidak mengamalkannya.[18]
BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Menurut pengertian secara bahasa, sunnah berarti:  الطريقة المسلوكة, Atau jalan yang ditempuh, baik terpuji maupun tidak sebagaimana sabda nabi SAW: “barang siapa yang memelopori mengerjakan suatu pekerjaan yang baik, maka baginya mendapat pahala atas perbuatan itu dan pahala orang-orang yang mengerjakannya hingga hari Qiyamat. Dan barangsiapa memelopori mengerjakan suatu pekerjaan jahat, maka ia berdosa atas perbuatannya itu, dan menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya hingga hari Qiyamat.” Menurut Istilah, para Ulama memberikan pengertian yang berbeda-beda menurut sudut mereka sendiri-sendiri.
Sedangkan ada beberapa istilah yang merupakan sinonim dari Hadits yaitu ; As-Sunnah, Atsar, dan Al-Khabar.
Ada beberapa periode untuk mengambarkan perjalanan hadist hingga pembukuaanya yaitu:
Periode pertama: Yaitu saat turunya wahyu dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 Hijriyah.
Periode kedua: Hadist di masa khulâfa ar-râsyidin yang dikenal dengan masa pembatasan riwayat.
Periode ketiga:  masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar.
Periode keempat: Masa pembukuan hadis (permulaan abad kedua Hijriyah).
Periode kelima: Masa pentashhikan dan penyaringan (awal abad ketiga).
Periode keenam : Masa memilah kitab-kitab hadist dan menyusun kitab-kitab jami’ (nama istilah kitan hadist yang masih bercampur antara hadist sahih, hasan, dhaif ataupun maudhu) yang khusus (awal abad keenam sampai tahun 656 h.)

Periode ketujuh: Masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan  hadis-hadis  hukum dan  membuat kitab-kitab jami’ yang umum.
Macam-macam hadits nabi SAW ada 4, ialah: hadits yang berupa perkataan, hadits yang berupa perbuatan, hadits  yang berupa pengakuan, dan hadits yang berupa sifat atau keadaan.
Pembukuan hadits sangatlah berbeda dengan pembukuan Al-Quran, karena dilihat dari segi periwayatannya alqur’an tidaklah diragukan lagi. Adapun macam-macam tinjauan pembagian hadits ada lima macam, yaitu: Pembagian dilihat dari jumlah perawinya, Pembagian dilihat dari segi yang menyampaikan berita, Pembagian dilihat dari segi persambungan sanad, Pembagian dilihat dari segi penyandarannya kepada Allah, Pembagian dilihat dari segi alitas sanad, perawi dan matan.


DAFTAR PUSTAKA


Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadits, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Zuhdi Masjfuk,1976; Pengantar Ilmu Hadist;Surabaya;Pustaka Progressif
Idri ,2010; Studi Hadist; Jakarta;  Prenada Media Group
Mudasir,1999; Ilmu Hadits;Bandung: Pustaka Setia
Khumaidi, Irham;2008; Ilmu Hadits Untuk pemula; Jakarta: CV Artha Rivera
Shiddiqiey, TM. Hasbi;2001;sejarah dan pengantar Ilmu hadits; Semarang: Pustaka Rizki Putra
Ismail,M. Stuhudi:1985;pengantar ilmu hadits; Jakarta:Angkasa, hlm 7




[1] Zuhdi, masjfuk:1976;pengantar ilmu hadits;Bangil:Persatuan, hlmn 15
[2] Ibid, hlmn 16
[3] Ismail,M. Stuhudi:1985;pengantar ilmu hadits; Jakarta:Angkasa, hlm 7
[4] Ibid, hlmn 9
[5] Mudasir;1999;Ilmu hadits;Bandung:Pustaka setia, hlmn 32
[6] Ismail,M. Stuhudi:1985;pengantar ilmu hadits; Jakarta:Angkasa, hlm 9
[7] Ibid,hlmn 79
[8] Ibid, hlmn 81
[9] Ibid, hlmn 82
[10] Khon, Abdul Majid; 2009;Ulumul Hadits, Jakarta: Bumi Aksara,hlmn 33.

[11] Ibid, hlmn 90
[12] Ibid, hlmn 95
[13] Shiddiqiey, TM. Hasbi;2001;sejarah dan pengantar Ilmu hadits; Semarang: Pustaka Rizki Putra, hlmn 43

[14] Ibid, hlm 3
[15] Ibid, hlmn 5
[16] Ibid, hlmn 5
[17] Ibid, hlmn 121
[18] Khumaidi, Irham;2008; Ilmu Hadits Untuk pemula; Jakarta: CV Artha Rivera, hlmn 63

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates