BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Muhammad Abduh adalah tokoh muslim yang sangat
dikenal oleh pelajar atau mahasiswa Islam. Beliau dikenal dengan sosok seorang
pemikir yang profesional terutama dalam dunia pendidikan.
Pemikiran
Muhammad Abduh mengenai pendidikan ini, ialah pemikiran pendidikan yang lebih
dilatar belakangi faktor situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan Islam
yang sedang mengalami kemunduran baik di bidang ilmu pengetahuan dan bidang keagamaan.
Dan
konsep pendidikan sampai dewasa ini nampaknya belum menghasilkan suatu
perumusan yang mantap.Hal ini benar, dan kenyataan tersebut disebabkan bukan
saja oleh kompleksnya masalah pendidikan, melainkan juga karena dunia
pendidikan juga dituntut terus untuk memberikan jawaban baru yang relevan
terhadap perubahan sosial yang bergerak begitu cepat.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Riwayat Hidup Muhammad Abduh?
2.
Bagaimana Ide Pemikiran dan Pembaharuan
Muhammmad Abduh mengenai Pendidikan?
1.3 Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Riwayat Hidup Muhammad Abduh.
2.
Untuk MengetahuiIde Pemikiran dan Pembaharuan
Muhammmad Abduh mengenai Pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Riwayat
Hidup Muhammad Abduh[1]
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849
M atau 1265 H, disebuah desa agraris bapaknya bernama Abduh Hasan Khairullah berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir,
sedangkan ibunya berasal dari suku Arab. Pertama kali ia memperoleh pendidikan
yang diselenggarakan di Masjid. Setelah ia pandai membaca dan menulis, ayahnya
mengirim pada seorang Hafid untuk belajar Al-Qur’an dan di usia 12 tahun, ia
telah mempu mengahafal Al-Qur’an secara keseluruhan. Tahun berikutnya, melanjutkan
pendidikan ke Thanta lembaga pendidikan di Masjid Manawi tetapi ia tidak senang
dengan metode pengajarannya, sehingga ia kembali ke daerah asalnya.
Pada tahun 1866 dalam usia 20 tahun
beliau menikah dengan modal niat mau menggarap ladang pertanian seperti halnya
dengan ayahnya. Tidak lama menikah, ayahnya memaksa beliau untuk kembali ke
Thanta tetap dalam perjalanan beliau tidak ke Thanta tetapi ke desa Kani
Sahurin tempat tinggal Syekh Darwish Khadr yang belajar berbagai ilmu agama di
Mesir. Syekh Darwish mendorong Muhammad Abduh untuk selalu membaca, dan pernah membaca buku–buku lagi.
Berkat dorongan dari Syaikh Darwis,
Muhamad Abduh belajar di Thanta dan kemudian melanjutkan belajar di Al-Azhar
dan bertemu dengan Jamaludin al-Afghani pada tahun 1869.Pertemuannya dengan
Jamaludin al-Afghani mengubah pemikirannya dari penguasaan teori-teori ilmiah
ke arah sikap praktis.
Muhammad Abduh bersama gurunya al-Afghani
aktif dalam berbagai bidang sosial dan politik yang kemudian menyebabkan ia
bertempat tinggal di Paris dan menguasai bahasa Perancis, menghayati kehidupan
masyarakat serta berkomunikasi dengan pemikir-pemikir Eropa.
Muhammad Abduh bersama Jalaludin al-Afghani
membentuk organisasi al-Urwatul al-Wutsqo
di Paris dan menerbitkan majalah dengan nama yang sama, sebagai media
perjuangan. Satu tahun kemudian Abduh diijinkan kembali ke Mesir, kemudian
diangkat menjadi hakim pada Pengadilan Tinggi. Selanjutnya ia diangkat menjadi
Mufti Negara hingga wafat pada tahun 1905. Muhammad Abduh termasuk salah
seorang pembaru dan ali pikir Muslim yang hidup pada pertengahan abad ke-19 di
Mesir.
2.2
Ide
Pemikiran dan Pembaharuan Muhammad Abduh tentang Pendidikan
Munculnya
ide-ide pendidikan Muhammad Abduh tampaknya lebih dilatar- belakangi oleh faktor
situasi, yaitu situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu.
Yang dimaksud dengan situasi sosial
keagamaan dalam hal ini adalah sikap yang umumnya diambil oleh umat di Mesir
dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Sikap tersebut tampaknya tidak jauh berbedah dari apa yang dialami
umat Islam dibagian dunia Islam lainnya. Pemikiran yang statis, taklid, bid’ah
dan khufarat yang menjadi ciri dunia Islam saat itu, juga berkembang di
Mesir.Muhammad Abduh memandang pemikiran yang jumud itu telah merambat dalam
berbagai bidang, bahasa, syari’ah, akidah, dan sistem masyarakat.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa
penyakit tersebut, antara lain, berpangkal dari ketidak tahuan umat Islam pada
ajaran sebenarnya, karena mereka mempelajarinya dengan cara yang tidak tepat.
Situasi lain yang memunculkan
pemikiran pendidikan Muhamad Abduh adalah sistem pendidikan yang ada saat itu.
Seperti diketahui pada abad ke-19 Muhammad Abduh memulai pembaharuan pendidikan
di Mesir pembaharuannya yang hanya menekankan perkembangan aspek intelek,
mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke-20.Tipe pertama adalah sekolah-sekolah
agama dengan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang tertinggi.Sedangkan tipe
kedua adalah sekolah-sekolah modern, baik yang dibangun oleh pemerintah Mesir,
mupun yang didirikan oleh bangsa asing.Kedua tipe sekolah tersebut tidak mempunyai
hubungan antara satu dengan lainnya, masing-masing berdiri sendiri dalam
memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pendidikannya.Sekolah-sekolah agama
berjalan di atas garis tradisional, baik dalam kurikulum maupun metode
pengajaran yang diterapkan.
Ilmu-ilmu Barat tidak diberikan di
sekolah-sekolah agama. Dengan demikian pendidikan agama kala itu tidak
mementingkan perkembangan intelektual, padahal Islam mengajarkan untuk
mengembangkan aspek jiwa tersebut sejajar dengan perkembangan dengan aspek jiwa
yang lain. Dari itulah agaknya pemikiran yang statis tetap mendominasi corak
pemikiran guru dan murid saat itu, bukan hanya dalam tingkat awal dan menengah,
tetapi juga dalam kalangan al-Azhar sendiri.
Sekolah-sekolah pemerintah di pihak
lain tampil dengan kurikulum yang memberikan ilmu pengetahuan Barat sepenuhnya,
tanpa memasukkan ilmu pengetahuan agama ke dalam kurikulumnya.
Dengan demikian, terjadi dualisme
pendidikan yang melahirkan dua kelas sosial dengan spirit yang berbeda.Tipe
sekolah yang pertama memproduksi ulama’ serta tokoh masyarakat yang enggan
menerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi.Tipe sekolah yang
kedua melahirkan kelas elite generasi muda, hasil pendidikan yang dimulai pada
abad kesembilan belas.Dengan ilmu-ilmu Barat yang mereka peroleh, mereka dapat
menerima ide-ide yang datang dari Barat.
Langkah yang di tempuh Muhammad
Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah uapaya
menselaraskan, menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran
umum.Hal ini di lakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum
sekolah agama dan memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum modern yang
didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik tenaga-tenaga administrasi,
militer, kesehatan, perindustrian.Atas usaha Muhammad Abduh tersebut maka
didirikan suatu lembaga yakni “Majlis Pendidikan Tinggi”.Untuk mengejar
ketertinggalan dan memperkecil dualisme pandidikan Muhammad Abduh mempunyai
beberapa langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:
1. Rekonstruksi
Tujuan Pendidikan Islam
Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhammad Abduh menetapkan
tujuan, pendidikan Islamyang dirumuskan sendiri yakni: “Mendidik jiwa dan
akal serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat
mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat”.
Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan
berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.Dengan menanamkan
kebiasaan berpikir.MuhaMmad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda
kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual
diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis,
juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.
Dalam karya teologisnya yang monumental Muhammad Abduh menselaraskan
antara akal dan agama.Beliau berpandangan bahwa Al-Qur’an yang diturunkan
dengan perantara lisan Nabi di utus oleh Tuhan.Oleh karena itu sudah merupakan
ketetapan di kalangan kaum muslimin kecuali orang yang tidak percaya terhadap
akal kecuali bahwa sebagian dari ketentuan agama tidak mungkin dapat meyakini
kecuali dengan akal.[2]
2. Menggagas
Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral
Sistem pendidikan yang di perjuangkan oleh Muhammad Abduh adalah sistem
pendidikan fungsional yang bukan impor yang mencakup pendidikan universal bagi
semua anak, laki-laki maupun perempuan.Semua harus memiliki kemampuan dasar
seperti membaca, menulis, dan menghitung.disamping itu, semua harus mendapatkan
pendidikan agama.
Bagi sekolah dasar, diberikan pelajaran membaca, menulis, berhitung,
pelajaran agama, dan sejarah Nabi. Sedangkan bagi sekolah menengah, diberikan
mata pelajaran syari’at, kemiliteran, kedokteran, serta pelajaran tentang ilmu
pemerintah bagi siswa yang berminat terjun dan bekerja di pemerintahan.
Kurikulum harus meliputi antara lain, buku pengantar pengetahuan, seni logika,
prinsip penalaran dan tata cara berdebat.
Untuk pendidikan yang lebih tinggi yaitu untuk orientasi guru dan kepala
sekolah, maka ia mengggunakan kurikulum yang lebih lengkap yang mencakup antara
lain tafsir al-quran, ilmu bahasa, ilmu hadis, studi moralitas, prinsip-prinsip
fiqh, histogarfi, seni berbicara.
Kurikulum tersebut di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum yang di
berikan pada setiap jenjang pendidikan. Dari beberapa kurikulum yang dicetuskan
Muhammad Abduh, ia menghendaki bahwa dengan kurikulum tersebut diharapkan akan
melahirkan beberapa kelompok masyarakat seperti kelompok awam dan kelompok
masyarakat golongan pejabat pemerintah dan militer serta kelompok masyarakat
golongan pendidik. Dengan kurikulum yang demikian Muhammad Abduh mencoba
menghilangkan jarak dualisme dalam pendidikan.
Adapun usaha Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:
·
Memasukan ilmu-ilmu modern
yang berkembang di Eropa kedalam al-Azhar.
·
Mengubah sistem pendidikan
dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan
penalaran.
·
Menghidupkan metode
munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid.
·
Membuat peraturan-peraturan
tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan
syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa
untuk empat tahun pertama.
Dalam bidang pendidikan
nonformal Muhammad Abduh menyebutnya sebagai ishlah (usaha perbaikan). Dalam penyelenggaraan pendidikan ini ia
melihat perlunya campur tangan pemerintah, terutama dalam mempersiapkan para
pendakwah. Muhammad Abduh menekankan mereka dari golongan yang terdidik yang
telah mendapatkan pendidikan dengan kurikulum pendidikan tingkat atas. Tugas
mereka yang terutama adalah:
1.
Menyampaikan
kewajiban dan pentingnya belajar
2.
Mendidik
mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau belum
mereka ketahui.
3.
Meniupkan
kedalam jiwa mereka cinta pada Negara, tanah air dan pemimpin.
Di luar pendidikan formal
pun Muhammad Abduh menekankan pentingnya pendidikan akal dan mempelajari
ilmu-ilmu yang datang dari Barat.
Pendidikan akal menurutnya tidak hanya berlangsung dalam lembaga pendidikan
formal, tetapi juga di luarnya, yaitu melalui pengamatan terhadap alam dan
gejala-gejalanya.Banyak ayat-ayat Qur’an yang dapat dijadikan bahan latihan
akal. Dari itulah ia mengatakan, bahwa Tuhan menurunkan dua kitab, yaitu kitab
yang diciptakan berupa alam semesta dan kitab yang diwahyukan berupa kitab
Qur’an yang mulia. Kitab Qur’an menurutnya diturunkan Tuhan untuk membimbing
manusia meneliti alam yang diciptakan Tuhan melalui akal yang di
anugerahkan-Nya. Dengan demikian keduanya pun merupakan sumber pengetahuan dan mempelajarinya bisa melatih
akal untuk berpikir.Di samping itu Muhammad Abduh pun menggalakkan umat Islam
untuk mempelajari ilmu-ilmu modern
Pemikiran pendidikan
Muhammad Abduh yang demikian adalah merupakan konsep-konsep yang disusunnya
yang belum pernah diterapkannya disekolah mana pun. Mungkin itulah sebabnya
mengapa Muhammad al-‘Imarah menyebutnya sebagai suatu ide, bukan fakta yang
disusunnya dari hasil pengalaman atau percobaan yang dilakukannya pada sebuah
lembaga pendidikan.Meskipun demikian, konsep-konsep yang disusunnya itu
menggambarkan pemikiran dan ide-ide baru yang dinamis, yang merupakan suatu
terobosan yang dihargai dan disadari nilainya setelah wafat.[3]
3. Metode Pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan metode pendidikan Islam adalah semua
cara yang digunakan dalam upaya mendidik anak. Oleh karena itu, metode yang
dimaksud di sini mencakup juga metode pengajaran.Sesungguhnya, membicarakan
metode pengajaran terkandung juga dalam pembahasan materi pelajaran karena
dalam materi pelajaran secara tidak langsung juga membicarakan metode
pengajaran.
Sebagai seorang idealis yang rasionalistis, Muhammad
Abduh dalam kegiatan mengajar menekankan pada metode yang berprinsip atas
kemampuan rasio dalam memahami ajaran Islam dari sumbernya yaitu al-Qur’an dan
al-Hadist, sebagai ganti metode verbalisme (menghafal).Sering pula mengajarkan
bahasa Arab dengan metode demonstrasi tentang cara-cara menulis huruf Arab
dengan jelas dan sederhana.[4]
Metode yang digunakan, oleh Muhammad Abduh diantaranya
sebagai berikut:
1.
Metode Menghafal
Dalam bidang metode pengajaran
Muhammad Abduh menggunakan metode menghafal yang telah dipraktekkan di sekolah
sekolah saat itu.Karena metode menghapal ini pulalah Muhammad Abduh frustasi
dan membenci belajar saat ia belajar di masjid Ahmadi Thanta. Muhammad Abduh
mengkritik metode menghapal bukan berarti membenci metode tersebut, ia tidak
setuju dengan metode ini kalau berhenti sampai di situ. Selanjutnya ia
mengatakan: "Saya kata Muhammad Abduh, telah mengalami pengajaran seperti
ini, belajar setahun setengah tanpa memahami sesuatu dari al-Kafrawi dan
Ajrumiyah. Metode pengajaran ilmu nahwu tanpa memahami istilah-istilahnya telah
membuatku (Muharnmad Abduh) tidak memahami sesuatu, akhirnya saya benci belajar
dan putus asa, tetapi Allah ternyata menghendaki lain, bapak saya memaksaku
untuk kembali belajar dan ditengah jalan saya menyimpang [pergi ke Kanisah
Urin] ”
Hendaknya metode menghafal ini hendaknya
diteruskan pada pemahaman, sehingga dimengerti apa yang dipelajari. Menurut
Arbiyah Lubis, dalam tulisan-tulisan Muhammad Abduh, ia tidak menjelaskan
metode apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi dari pengalamannya mengajar di
Universitas al-Azhar, Mesir nampaknya ia menerapkan metode diskusi.
2. Metode Diskusi
Dari
pengalaman belajar Muhammad Abduh dan kritikannya terhadap metode menghapal,
dapat diketahui bahwa ia mementingkan pemahaman, hal itu didukung oleh fakta
metode yang ia praktekkan dan ia sukai metode diskusi.
Sewaktu
Muhammad Abduh menafsirkan sebuah QS.al-Nisa ayat tiga puluh lima, dalam
keterangannya tentang:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
"Wa bi walidain ihsaanan”
Disebutkan
bahwa metode orang tua dalam mendidik anak di Mesir membuat anak sebagai
manusia pasif, sehingga mereka (para orang tua) mendidik anak-anak dengan cara
diktator. Kebanyakan orang tua mencetak anak-anak sesuai dengan kehendak
mereka.Anak-anak dijadikan berpengetahuan atau berilmu sesuai dengan
pengetahuan orang tua, anak-anak marah sesuai dengan marahnya orang tua. Anak-anak
berbuat sesuai dengan keinginan orang tua, selanjutnya Muhammad Abduh berpikir
dan kemudian bertanya: “Apakah dengan metode pendidikan seperti ini akan
menghasilkan umat yang kuat dan adil sehingga mereka bebas dalam berbuat baik
dalam bidang politik maupun dalam hukum ?”
Rumah
adalah lembaga yang menciptakan pendidikan kediktatoran yang buruk dan mencetak
kader-kader pemimpin yang zhalim dan yang hina.Para orang tua yang mendidik
anak secara diktator sesungguhnya mereka yang gila akan kehinaan mereka anggap
suatu kenikmatan dan keselamatan. Selanjutnya, Muhammad Abduh mengatakan,
“Wahai
ulama agama dan adab, hendaknya kalian menerangkan kepada umat baik di
sekolah-sekolah atau majlis-majlis apa kewajiban orang tua terhadap anak dan
apa kewajiban anak terhadap orang tua, dan kewajiban umat terhadap dua kelompok
itu.Hendaklah kalian tidak lupa kaidah atau teori kemerdekaan dan kebebasan.Dua
kaidah itu adalah landasan dasar berdirinya bangunan Islam.Para sosiolog bagian
utara yang berkuasa pada zaman ini (Roma) mengakui bahwa peradaban mereka maju
karena mereka berlandaskan dua dasar di atas [kebebasan berpikir dan berbuat].
Pada
penjelasan tersebut di atas, Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode pendidikan
dan pengajaran hendaknya memperhatikan kemampuan bakat dan minat anak didik.
Dalam kata lain, metode pengajaran yang memberikan kebebasan berpikir dan
berkreasi dalam pendidikan dan pengajaran adalah metode diskusi. Metode diskusi
inilah yang banyak dipraktekkan oleh Muhammad Abduh dalam mengajar di Universitas
al-Azhar Mesir. Menghapal dalam proses belajar tidak mungkin di dinafikan
karena ia sangat esensial.Terbukti umat Islam banyak yang hapal al-Qur'an
termasuk Muhammad Abduh, Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Muhammad Abduh
tidak mengharamkan metode menghapal, tetapi dapat diketahui dari pengalaman dan
kritiknya terhadap metode menghapal, sepertinya ia berpendapat bahwa metode
menghapal tanpa pemahaman tidak baik (untuk tidak mengatakan buruk).
3. Metode Tanya Jawab
Manusia
berhak membuka jalan bagi penuntut ilmu untuk meneliti dalam berbagai ilmu
pengetahuan. Contohnya:ia menerangkan kaidah atau sebuah teori, kemudian ia
mencari kecocokannya dalam berbagai aspek pekerjaan. Dalam hal ini metode
pengajaran, hendaknya guru mengajarkan kepada anak didik cara untuk mengetahui
kesalahan dan cara kembali kepada yang benar. Cara yang demikianlah yang
dipraktekkan oleh Muhammad Abduh ketika belajar sehingga ia menjadi seorang
seorang ahli. Adapun untuk memperdalam suatu ilmu sangat tergantung pada usaha
seorang anak didik setelah seseorang lulus dari suatu lembaga pendidikan, maka
ia akan mengamalkan apa-apa yang ia peroleh ketika sekolah. Kemudian untuk
memperdalam pengetahuannya itu, hendaknya ia belajar lebih lanjut.
Muhammad Qodri Luthfi mengatakan bahwa
Muhammad Abduh dalam mengajar menggunakan metode hiwar (tanya-jawab) dan
munaqasah [diskusi] tidak hanya ceramah Memang dua metode tanya jawab dan
diskusi bisa berdampingan bahkan pada setiap diskusi ada metode tanya jawab,
tetapi mutlak dalam metode tanya jawab ada metode diskusi.
4. Metode Darmawisata.
Muhammad
Abduh dalam pemikirannya sering membuat terobosan dalam pendidikan dan
pengajaran.Dalam hal metode darmawisata misalnya menyebutkan bahwa rihlah
adalah rukun dalam pendidikan.Ketika ingin mengajarkan kepada anak didik materi
"pesawat" hendaknya mereka dibawa langsung ke bandara.Ketika ingin
mengajarkan "kapal" hendaknya anak didik dibawa ke pelabuhan. Mereka
sulit memahami sesuatu yang abstrak,
Kalau dilihat contoh metode
darmawisata tersebut di atas, dapat dipahami bahwa salah satu fungsi metode ini
untuk dapat dipahami bahwa salah satu fungsi metode ini untuk dapat memahami
materi kepada anak didik.Selain itu, metode darmawisata salah satu indikasi
bahwa belajar tidak hanya di kelas.Metode pengajaran seperti disebutkan di atas
sangat lebih tepat digunakan pada sekolah dasar dimana kemampuan berpikir
abstrak anak didik belum matang.
5. Metode Demontrasi
Dalam menyampaikan materi Ilmu-ilmu
praktis (fi'liyah) hendaknya tidak hanya diajarkan dengan menyampaikan ilmunya
dengan caraberceramah, kemudian anak didik disuruh untuk menghafalnya ilmu-ilmu
fi'liyah harus diajarkan dengan cara menyertakan prakteknya, seperti
mengajarkan tata cara shalat lima waktu dengan mendemontrasikannya baik di
depan kelas maupun di masjid. Lebih lanjut Muhammad Abduh mengatakan: Hendaknya
guru mengadakan praktek mengajar di sekolah tidak hanya sebentar, tetapi dalam
waktu yang cukup lama, sehingga para calon guru tersebut telah siap ilmu dan
mentalnya untuk mengajar di saat mereka telah menjadi sarjana.
6. Metode Latihan
Untuk
mengintegrasikan antara pendidikan akal dan jiwa, guru di sekolah harus
menyuruh anak didik untuk melakukan shalat lima waktu. Bagi sekolah yang
memiliki anak didik beragama non Islam seperti Kristen, maka guru hendaknya
tidak menyuruh mereka untuk melaksanakan shalat, namun meskipun anak didik yang
non Islam tidak melaksanakan shalat, tetapi nilai-nilai spiritual tersebut
tidak boleh hilang dari mereka.
Dari
penjelasan tentang pembiasaan ibadah tersebut di atas, dapat dipahami bahwa
Muhammad Abduh sangat demokratis dan menghormati kebebasan beragama.Tetapi
nilai-nilai akal [intelektual] dan jiwa [spiritual] bersifat universal,
sehingga berlaku pada seluruh negara, suku, bangsa, agama, dan sebagainya.
7. Metode Teladan
Pendidik
harus dapat mendidik anak didik untuk memiliki sifat kasih sayang terhadap
sesama manusia.Dalam mengajarkan pesan kasih sayang itu, guru dapat memberi
tauladan kepada anak didik.Tauladan yang baik jauh lebih berpengaruh kepada
jiwa anak didik dari pada sekedar teori. Selain aspek tauladan, guru juga harus
memperhatikan dan memilih gaya bahasa yang serasi untuk menyampaikan pesan
sifat kasih sayang itu. Gaya bahasa yang digunakan guru juga harus
memperhatikan aspek efektivitas dan efesiensi.
Dari penjelasan tersebut di atas,
penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengajaran yang bertujuan untuk membina
akhlak, hendaknya guru menggunakan bahasa yang baik mudah dipahami, jelas, dan
tegas, disampaikan dengan uslub atau tata cara yang baik.
Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh,
meskipun belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah
memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan Islam.Usaha Muhammad
Abduh kurang begitu lancar disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama
yang kuat berpegang pada tradisi lama teguh dalam mempertahankanya.[5]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konsep pendidikan Muhammad Abduh ditelah dari
faktor-faktor pendidikan menunjukkan adanya relevansinya dengan Sistem
Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,
terutama pada tujuan pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa
serta membentuk peserta didik yang memiliki iman dan takwa serta masih ada yang
relevan pada bab yang lain yang dijabarkan pada pasal-pasal di dalam
undang-undang tersebut.
Berangkat dari persoalan tersebut di atas,
MuhammadAbduh mengkaji lebih jauh pemikiran tentang pendidikan Islam yang
mewakili kelompok modernis-rasionalis. Atau dengan kata lain, kajian tentang
pemikiran pendidikan Islam Muhammad Abduh berada pada wilayah
historisitas-empiris yang responsif terhadap adanya perubahan.
Dengan demikian, Muhammad
Abduh melakukan pembaharuan dalam pendidikan Islam dengan cara memgintegrasikan
antara ilmu umum dengan ilmu agama. Pendidikan baginya bukan hanya bertujuan
mengembangkan aspek kognitif (akal) semata, tetapi jugaperlu menyelaraskan
dengan aspek afektif (moral) dan psikomotorik (keterampilan). Sehingga Umat
Islam terhindar dari kejumudan, keterbelakangan dalam berfikir dan taklid yang
berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin. 2009. Filsafat Pndidikan Islam. Jakarta:
PT Bumi Aksara.
Fatah, Yasin, A. 2008. Dimensi-Dimensi Pendidikan
Islam.Malang: UIN Press.
Jalaluddin, Usman, S. 1996. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Lubis, Arbiyah.1993.
Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta:
Ar-ruzz Media.
Taufik, Akhmad. 2005. Sejarah
Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
0 komentar:
Posting Komentar