BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberadaan
hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki sejarah
perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-kodifikasi,
zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H. Perkembangan
hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi
untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan
tercampurnya nash al-Qur'an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus
Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur'an. Larangan
tersebut berlanjut sampai pada masa Tabi'in Besar. Bahkan Khalifah Umar ibn
Khattab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang
lain.
Periodisasi
penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan
Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H). Terlepas
dari naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan bahwa sejarah
perkembangan hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban
Islam. Yang pada akhirnya menjadikan para Ulama Hadits terinspirasi untuk
membukukan hadits itu agar tidak mengalami kemusnahan. Dan sampai sekarang
kitab-kitab tersebut semakin berkembang di kalangan ummat islam.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hadits?
2. Bagaimana Sejarah
perkembangan Hadist dari masa ke masa dan Sistem Pembukuannya
3. Sebutkan macam hadts berikan contoh hadits nabi?
4. Berikan penjelasan
tentang pembagian dan macam-macam Hadits serta tinjauan
pembagian Hadits!
1.3 Tujuan
-
Untuk mengetahui pengertian dari hadits itu
sendiri;
-
Untuk mengetahui bagaima sejarah hadits itu
sejak dari zaman Rasulullah sampai pada masa sekarang;
-
Mengetahui
macam dan contoh hadits nabi;
-
Mengetahui macam-macam hadits beserta tinjauan pembagian Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hadits
A.
Pengertian Hadits
Menurut pengertian
secara bahasa, sunnah berarti: [1]الطريقة
المسلوكة, Atau jalan yang ditempuh, baik terpuji
maupun tidak sebagaimana sabda nabi SAW: “barang siapa yang memelopori
mengerjakan suatu pekerjaan yang baik, maka baginya mendapat pahala atas
perbuatan itu dan pahala orang-orang yang mengerjakannya hingga hari Qiyamat.
Dan barangsiapa memelopori mengerjakan suatu pekerjaan jahat, maka ia berdosa
atas perbuatannya itu, dan menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Qiyamat.”
Menurut Istilah, para Ulama memberikan
pengertian yang berbeda-beda menurut sudut mereka sendiri-sendiri. Menurut
Ulama Hadist, sunnah berarti segala yang dinukilkan dari nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrirnya atau selain itu[2].
Menurut Ulama Ushul Fiqh, sunnah yaitu segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pautnya dengan hukum. Dari kedua
pengertian tersebut, terdaoat perbedaan antara sudut pandang Ulama Hadist
dengan Ulama Ushul Fiqh. Ulama Hadist memandang Nabi Muhammad SAW sebagai
manusia yang sempurna yang dapat dijadikan suri tauladan bagi seluruh Ummat
Islam, sedangkan Ulama Ushul Fiqh memandang Nabi Muhammad SAW sebagai Musyarri’
yaitu orang yang membuat Undang-undang atau wetgever di samping Allah SWT.
Sedangkan menurut Ulama Fiqh, sunnah
adalah perbuatan yang dilakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai
wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain, suatu amalan yang apabila dikerjkan
mendapat pahala sedang apabila tidak dilakukan tidak mendapat apa-apa.
Sedangkan menurut Ulama Da’wah, sunnah diartikan sebagai kebalikan daripada
bid’ah.
B. Sebab-sebab Hadits
dinamai dengan Hadits
1. Menurut
Az-Zumakhsyary:
Karena
pada saat kita meriwayatkan Hadits[3],
kita menyatakan:
ثنى النّبىّ صلىّ اللهُ عليه وسلم قال......حدّ
“dia menceritakan kepadaku, bahwa nabi
bersabda....”
2. Menurut Al-Kirmany
dan Ibnu Hajar Al-Asqalany:
Karena
ditinjau dari segi “kebaruannya” dan pula sebagai perimbangan terhadap Al-Quran
yang bersifat Qadim, azaly. Dr. Subhy Shalih menyatakan bahwa para Ulama telah
menghindarkan diri untuk menggunakan istilah “Haditsullah” untuk Al-Quran.
C. Sinonim Istilah
hadits
Adapun sinonim
dari Hadits adalah: As-Sunah, Al-Khabar, dan Al-Atsar dengan pengertian[4]
sebagai berikut:
1. As-Sunah
Sunah menurut bahasa berarti jalan yang ditempuh, adat istiadat, suatu
kebiasaan, dan cara yang diadakan. Makna sunah yang lain adalah tradisi
yang kontinu (berkelanjutan). Sedangkan sunah menurut istilah terdapat
beberapa perbedaan di kalangan ulama’, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Menurut ulama’
ahli Hadits (muhadditsin), sunah sama dengan hadits. Diantara
ulama ada yang mendefinisikan dengan ungkapan yang singkat yaitu segala
perkataan Nabi, perbuatannya dan segala tingkah lakunya.
b.
Menurut ulama’
Ushul Fikih adalah sesuatu yang yang diriwayatkan dari Nabi baik yang bukan
berupa Al-Quran yang berupa segala perkataan, perbuatan, dan pengakuan yang
patut dijadikan dalil hukum syara’.
Sunah menurut ulama
ushul fikih hanya perbuatan yang dapat dijadikan dasar hukum Islam. Jika suatu
perbuatan Nabi tidak dijadikan dasar hukum seperti makan, minum, tidur dan
lain-lain maka pekerjaan biasa sehari-hari tersebut tidak dikatakan sunah.
a. Menurut ulama Fikih adalah sesuatu ketetapan yang datang
dari Rasulullah dan tidak termasuk kategori fardhu dan wajib, maka sunah
menurut mereka adalah sifat syara’ yang menuntut pekerjaan tapi tidak wajib dan
tidak disisksa bagi yang meninggalkan.
b. Menurut ulama Fikih, sunah
dilihat dari segi hukum sesuatu yang datang dari Nabi tetapi hukumnya tidak
wajib, diberi pahala bagi yang megerjakannya dan tidak disiksa bagi yang
meninggalkannya. Contohnya: shalat sunah, puasa sunah, dan lain-lain.
2. Al-Atsar
Atsar menurut bahasa
adalah bekas sesuatu[5].
Al-Zarkasyi mengartikan Al-Atsar sebagai sesuatu yang disandarkan kepada
sahabat semata. Dengan demikian atsar tidak mempunyai hubungan langsung
ataupun tidak langsung dengan Nabi. Menurut istilah ada dua pendapat, pertama, atsar
adalah sinonim dari hadits. Kedua, atsar adalah sesuatu yang disandarkan
kepada para sahabat dan tabi’in baik perkataan maupun perbuatan. Sebagian
ulama’ mendefinisikan: sesuatu yang datang dari selain Nabi yaitu dari para
sahabat, tabi’in dan atau orang-orang setelahnya.
3. Al-Khabar
Menurut bahasa khabar
adalah berita, pemberitahuan, laporan, ha mengenai peristiwa, kejadian, dan
keadaan. Sedangkan dari segi istilah khabar berarti sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi, sahabat dan tabi’in. Dengan demikian sumber atau
sandaran dari Al-Khabar dapat dari bebagai macam atau beberapa orang
termasuk Nabi, seperti sahabat dan tabi’in.
Mayoritas ulama
melihat Hadits lebih khusus yang datang dari Nabi, sedang khabar sesuatu
yang datang darinya dan dari yang lain, termasuk berita umat terdahulu, para
Nabi, dan lain-lain. Misalnya Nabi Isa berkata:…, Nabi Ibrahim berkata:… dan
lain-lain, termasuk khabar bukan hadits.
D. Perbedaan Hadits dengan sinonimnya
Ulama’hadits
menyatakan bahwasanya hadits, sunah, atsar dan khabar adalah berarti sama dan
mereka tidak memandang ada perbedaan antara hadits dan sinonimnya sedangkan
Ulama Fikih dan Ulama Ushul Fikih memandang bahwa hadits dan sinonimnya
mempunyai beberapa perbedaan antara lain:
1.
hadits sandarannya Nabi, aspek dan spesifikasinya meliputi
perkataan, perbuatan dan persetujuan dan sifatnya khusus sekalipun dilakukan
Cuma satu kali;
2.
sunah sandarannya Nabi dan sahabat, aspek dan spesifikasinya
hanya pada perbuatan saja dan sifatnya menjadi tradisi;
3.
khabar sandaranya Nabi dan selainnya, aspek dan spesifikasinya
meliputi perkataan dan oerbuatan dan bersifat lebih umum; dan
4.
atsar sandarannya sahabat dan abi’in, aspek dan spesifikasinya
meliputi perkataan dan perbuatan dan bersifat umum.[6]
2.2 Sejarah perkembangan Hadist
dari masa ke masa dan Sistem Pembukuannya
A. Keadaan sunnah/Hadist pada masa nabi
Pada
Zaman nabi SAW hadist-hadist tersebut belum dibukukan, dikarenakan ada larangan
penulisan hadist tersebut[7],
nabi pun bersabda:
لا تكتبوا عنى شيأ غير القرأن, فمن كتب
عنى شيأ غير القرأن فليمحه
“ jangan
menulis apa-apa selain Quran dari saya, barang siapa yang menulis apa-apa dari
saya selain Quran (ya’ni: Hadist) hendaklah menghapusnya”.
Dari larangan penulisan tersebut, terdapat hikmah yang
perlu kita ketahui, yaitu:
1.
Karena pada waktu itu para sahabat Nabi SAW masih banyak
yang “ummi” ( tidak bisa baca dan
tulis), sedang waktu itu banyak wahyu Illahi yang turun (Quran), jadi Nabi
Mengkhawatirkan jikalau mereka tidak dapat membedakan Quran dan Hadist hingga
terjadi percampuran antara keduanya.
2.
Nabi SAW percaya dengan kekuatan Hapalan para sahabatnya
dan kemampuan atas memelihara semua ajarannya (Hadist) tanpa harus dengan
catatan. Dan secara tidak langsung Nabi melatih mereka untuk percaya dengan
kemampuan diri sendiri.
الإعتماد على النفس أساس النجاح
“ Percaya atas
diri sendiri adalah pangkal kebahagiaan”.
Tetapi di samping ada hadist yang
melarang untuk menulis hadist nabi, ada juga hadist yang menerangkan agar
supaya/membolehkan untuk menulis hadist nabi SAW, ialah sabda nabi:
أكتب عنى, فوالذى نفسى
بيده ما خرج من فمى إلا حق
“Tulislah dari saya, demi dzat yang dariku
di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali yang haq(benar)”.
Dengan
adanya hadist tersebut yang tampaknya bertentangan, maka ada beberapa pendapat yang muncul, yaitu:
1.
Hadist yang
melarang penulisan hadist tersebut telah dinsakh dengan hadist yang membolehkannya
(pendapat Jumhur).
2.
Hadist yang
melarang tersebut, ditujukan kepada orang yang kuat ingatannya( hafalannya),
begitu sebaliknya.
3.
Hadist yang
melarang tersebut tertuju kepada orang yang menulis Quran dan Hadist dalam satu
lembaran, karena khawatir bercampur antara keduanya.
B. Keadaan Hadist pada masa Khulafa’ Ar-Rasyidin (10 H
- 40 H)
Pada
masa ini hadist-hadist tersebut belum juga dibukukan meskipun ummat islam
sangat memerlukan hadist-hadist tersebut selain Quran untuk dijadikan pedoman
hidup dalam menyelesaikan masalah yang tengah dihadapi. Penyampaian hadist pada masa ini dilakukan dengan cara
lisan dan hanya ketika benar-benar diperlukan atau saat mengahadapi masalah
yang memerlukan penjelasan hukum dari Hadist[8].
C. Keadaan
hadist setelah masa Khulafa’ Ar-Rasyidin ( 41 H – 100 H)
Pada
masa ini, mulai muncul pepecahan d i
kalangan ummat Islam karena soal khilafah/pemerintahan/politik, sehingga
timbullah perang saudara Ali dan Muawiyah, dan berakhir dengan perang siffin[9]. Demi menjaga kedamaian ummat Islam, maka Ali
menerima permintaan perdamaian dan musyawarah dari pihak Muawiyah. Tetapi pada
masa itu ummat islam terpecah menjadi 3 golongan, ialah:
1.
Khawarij, ialah
golongan pemberontak yang tidak menyetujui perdamaian dan permusyawaratan dalam
khilafah (tahkim).
2. Syi’ah,
ialah golongan yang fanatic dan mengkultuskan pada Ali.
3. Jumhur,
ialah ummat islam yang tidak termasuk keduannya, tetapi mereka tepecah menjadi
3 golongan, yaitu:
- Golongan
yang mendukung pemerintahan Ali;
- Golongan
yang mendukung muawiyah;
- Golongan
netral (independent).
a) Permulaan penulisan (pembukuan) Hadist
Pada akhir abad I, Karena takut
lenyapnya ajaran-ajaran nabi SAW melihat
banyak para sahabat yang telah wafat maka kholifah umar bin abdul aziz
beranggapan perlu sekali untuk membukukan hadist-hadist Nabi SAW.
b) System pembukuan Hadist pada masa ini
Adalah penulis menghimpun semua
hadist yang membahas satu masalah saja dalam satu kitab karangan.
D) Keadaan hadist pada abad ke II (101 H- 200H)
Setelah dirintis oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab
Az-Zuhri sekitar tahun 100H, penulisan hadist tersebut diteruskan oleh Ulama
Hadist. Ulama hadist pada masa ini diantaranya, yaitu:
1.
Ibnu Juraij
(wafat tahun 150H)
2.
Al-Auza’I di
Syria (wafat tahun 156H)
3.
Syufyan
Ats-Tsauri di Kufah (wafat tahun 161H)
4.
Imam Malik di
Madinah (wafat tahun 179H)
System pembukuan Hadist
pada masa ini
Para penulis menghimpun hadist-hadist mengenai
masalah yang sama dalam satu bab, kemudian bab-bab tersebut dijadikan satu
sehingga tercampur antara hadist dan fatwa sahabat dan tabi’in.
E)
Keadaan
hadist dalam abad III H
Sesudah masa Khulafa' al-Rasyidin,
timbullah usaha yang lebih sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits.
Bahkan tatacara periwayatan hadits pun sudah dibakukan. Pembakuan tatacara
periwayatan hadits ini berkaitan erat dengan upaya ulama untuk menyelamatkan
hadits dari usaha-usaha pemalsuan hadits. Kegiatan periwayatan hadits pada masa
itu lebih luas dan banyak dibandingkan dengan periwayatan pada periode Khulafa'
al-Rasyidin. Kalangan Tabi'in telah semakin banyak yang aktif meriwayatkan
hadits.
Meskipun masih banyak periwayat
hadits yang berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, kehati-hatian pada masa itu
sudah bukan lagi menjadi ciri khas yang paling menonjol. Karena meskipun
pembakuan tatacara periwayatan telah ditetapkan, luasnya wilayah Islam dan
kepentingan golongan memicu munculnya hadits-hadits palsu. Sejak timbul fitnah
pada akhir masa Utsman r.a, umat Islam terpecah-pecah dan masing-masing lebih
mengunggulkan golongannya. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada periode
ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.
Seorang ulama Syi'ah, Ibnu Abil
Hadid menulis dalam kitab Nahyu al-Balaghah, "Ketahuilah bahwa asal
mulanya timbul hadits yang mengutamakan pribadi-pribadi (hadits palsu) adalah
dari golongan Syi'ah sendiri. Perbuatan mereka itu ditandingi oleh golongan
Sunnah (Jumhur/Pemerintah) yang bodoh-bodoh. Mereka juga membuat hadits hadits
untuk mengimbangi hadits golongan Syi'ah itu". Karena banyaknya hadits
palsu yang beredar di masyarakat dikeluarkan oleh golongan Syi'ah, Imam Malik
menamai kota Iraq (pusat kaum Syi'ah) sebagai "Pabrik Hadits Palsu".
Pada masa ini juga terjadi pertentangan hebat antara
ulama kalam(dari kaum mu’tazilah) dengan ulama Hadist. Menurut kaum mu’tazilah
Quran itu adalah Makhluk.
System
pembukuan Hadist pada masa ini
Ada tiga system pembukuan Hadist, yaitu:
1. Penulis
menghimpun semua serangan (celaan) yang dilancarkan oleh Ulama-ulama kalam
kepada pribadi Ulama-ulama hadist. Kemudian penulis menjawab dan menanggapi semua
celaan tersebut dengan alasan yang kuat sehingga menjaga nama baik Ulama Hadist
dan membersihkan Hadist-hadist yang telah dicatat.
2. Pengarang
menghimpun Hadist secara “musnad” yaitu menghimpun semua hadist dari tiap-tiap
sahabat tanpa memperhatikan masalah-masalahnya(isi Hadist) dan nilainya ( ada
yang shohih, hasan dan dlaif).
3. Penulis
menghimpun Hadist-hadist secara bab-bab
seperti kitab fiqh dan tiap bab memuat hadist yang sama maudlu’nya(masalahnya).[10]
Tokoh-tokoh
dalam Perkembangan Hadits
Pada
masa awal perkembangan hadits, sahabat yang banyak meriwayatkan hadits disebut
dengan al-Muktsirun fi al-Hadits, mereka adalah:
a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.
a. Abu Hurairah meriwayatkan 5374 atau 5364 hadits
b. Abdullah ibn Umar meriwayatkan 2630 hadits
c. Anas ibn Malik meriwayatkan 2276 atau 2236 hadits
d. Aisyah (isteri Nabi) meriwayatkan 2210 hadits
e. Abdullah ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadits
f. Jabir ibn Abdillah meriwayatkan 1540 hadits
g. Abu Sa'id al-Khudry meriwayatkan 1170 hadits.
Sedangkan
dari kalangan Tabi'in, tokoh-tokoh dalam periwayatan hadits sangat banyak
sekali, mengingat banyaknya periwayatan pada masa tersebut, di antaranya :
a. Madinah
- Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
- Salim ibn Abdullah ibn Umar
- Sulaiman ibn Yassar
b. Makkah
- Ikrimah
- Muhammad ibn Muslim
- Abu Zubayr
c. Kufah
- Ibrahim an-Nakha'i
- Alqamah
d. Bashrah
- Muhammad ibn Sirin
- Qotadah
e. Syam
- Umar ibn Abdu al-Aziz (yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori kodifikasi hadits)
f. Mesir
-Yazid ibn Habib
g. Yaman
- Thaus ibn Kaisan al-Yamani
a. Madinah
- Abu Bakar ibn Abdu Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam
- Salim ibn Abdullah ibn Umar
- Sulaiman ibn Yassar
b. Makkah
- Ikrimah
- Muhammad ibn Muslim
- Abu Zubayr
c. Kufah
- Ibrahim an-Nakha'i
- Alqamah
d. Bashrah
- Muhammad ibn Sirin
- Qotadah
e. Syam
- Umar ibn Abdu al-Aziz (yang kemudian menjadi khalifah dan memelopori kodifikasi hadits)
f. Mesir
-Yazid ibn Habib
g. Yaman
- Thaus ibn Kaisan al-Yamani
F) Keadaan Hadist mulai permulaan abab IV H- tahun 656H
Menurut Adz-Dzahabi, tahun 300H adalah tahun pemisah
antara Ulama Mutaqoddimin( Ulama sebelum tahun 300H) dengan Ulama Mutaakhkhirin (Ulama sesudah tahun 300H)[11].
pada masa ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Keadaan
Hadist pada abad IV H
Pada
masa ini masih terdapat ulama hadist yang memilki kesanggupan serta kemampuan
untuk menghimpun Hadist atas usaha sendiri, tidak mengutip dari kitab-kitab
Hadist sebelumnya, dianataranya:
a. AL-HAKIM
(wafat tahun 405H)
b. AD-DARUQUTHNI
(wafat tahun 385H)
c. IBNU
HIBBAN (wafat tahun 354H)
d. ATH-THABRANI
(wafat tahun 360H)
2. Keadaan
Hadist pada abad V H s/d 656 H/ masa menghimpun dan menertibkan susunannya
(Ashru Al-Jami’ wat Tartib)
Karya-karya
ilmiah Ulama Hadist pada abad V H samapai tahun 656 H, hanya terbatas pada
penghimpunan dan penyusunan Hadist-hadist secara teratur dan sistematis.
Karangan
ilmiah pada masa ini diantaranya ialah:
a. Menghimpun
Hadist-hadist yang terdapat di kitab shahihain dalam satu kitab oleh Ibnul
Furot ( wafat tahun 414H) dan Al-Baghowi ( wafat tahun 516 H).
b. Menghimpun
Hadist-hadist dari kuttub sittah dalam satu kitab oleh Ibnul Atsir Al-Jazari
(wafat tahun 606 H).
c. Mebghimpun
Hadist-hadist menurut bidangnya. Oleh Ibnu Taimiyah (wafat tahun 656 H).
d. Pengarang
menyusun kitab “ Al-Athraf” ialah suatu kitab Hadist di mana pengarang
menyebutkan sebagian (pemulaan) dari hadist yang dapat menunjukkan
kelanjutannya.
G) Keadaan Hadist mulai tahun 656 H – Sekarang
Setelah
pemerintahan Abbasiyah jatuh, dan situasi ummat islam pada masa itu sangatlah
memprihatinkan yang menyebabkan para Ulama tidak dapat dengan bebasnya
menyampaikan dan menerima ajaran-ajaran Nabi SAW secara langsung dengan
lisan/dari orang lain. Maka cara penyampaiannya pun dilakukan dengan jalan
surat menyurat dan ijazah ( idzin yang diberikan kepada murid untuk
meriwayatkan Hadist-hadist yang telah ditulis oleh guru dalam kitabnya)[12].
Pada masa ini,
disebut dengan ‘ashr al-syarh wa al-jam’i wa al-takhrij wa al-bahts yaitu masa pensyarahan,
penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan. Para ulama berupaya mensyarah
kitab-kitab Hadist yang sudah ada, menghimpun dan mengumpulkan yang sudah ada.
Juga membahas dan mentakhrij hadist-hadist dalam kitab tertentu serta membahas
kandungan kitab-kitab hadist terebut.
Kitab-kitab
yang dibuat oleh para Ulama pada masa
ini adalah:
1.
Kitab Zawaid karangan Syihabuddin Ahmad Al-Bushiri (wafat
tahun 852H) dan karangan Nuruddin Abu Hasan Ali-Haitamy (wafat tahun 807H)
2.
Jam’ul Jawami’ karangan Imam Syuyuti (911H);
Kemudian pada abad ke XII H sampai sekarang, dapat
dikatakan bahwa sudah tidak lagi ada kegiatan untuk membukukan dan sebagainya
dari kalangan para Ulama Hadist.[13]
2.3
Macam hadits dan Contoh Hadits Nabi SAW
Ada empat macam hadits nabi Saw ,serta banyak sekali contoh-contoh[14]
hadits Nabi SAW yang sering kita jumpai. Ada beberapa macam hadits Nabi SAW,
ialah:
a.
Yang berupa perkataan/Sabda:
عن عبد الله بن عمر وبن العاص رضى الله عنه قال: سمعت رسول الله ص م.
يقول: إنَّ اللهَ يَقبِضُ العلمِ إئتزاعاً ينتزعه من العباد ولكنّ يقبضُ العلم
يقبضُ العلماء حتى إذالم يبقِ عالما إتخد الناسُ رؤسا جُهَّالاً فسئلوافافتوا بغير
علمٍ فضلوا وأضلوا (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “ Dari Abdullah bin Amr bin Ash
ra. Berkata: saya telah mendengar Rasullah SAW , bersabda: sesungguhnya Allah
tidaklah mencabut ilmu itu dengan cara mencabut dari dadanya para hamba, tetapi
dia mencabut ilmu dengan cara mencabut nyawa para Ulama. Sehingga bila telah
tidak tinggal lagi seorang pun yang berilmu, manusia lalu mengambil mengangkat
pemimpin-pemimpin yang bodoh. Dan apabila mereka para pemimpin itu ditanya
tentang sesuatu, mereka memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu pengetahuan,
sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan”. (Riwayat Bukhori dan Muslim)
عن هبى هريرة رضى الله عنه قال: قال النبىُّ ص.م. الإيمان بضعٌ و سبعون سعبة
من الإيمان
(رواه البخار و مسلم)
Artinya:”Dari Abu Hurairoh ra. Berkata:
telah bersabda Nabi SAW: iman itu ada tujuh puluh cabang. Dan malu itu cabang
dari iman (Riwayat Bukhori dan Muslim)[15]
b.
Yang berupa perbuatan:
عن جابر رضى الله عنه قال: كان رسول اللهِ صلىَّ اللهُ عليهِ و سلّمَ يصلىِّ
علىَ راحلتهِ حيثُ توجّهتْ بإفاء ذا أراد ألفريضةَ نزل فاستقبل القبلة (رواه
البخارى)
Artinya: “Dari Jabir ra. Berkata:Adalah
Rasulullah SAW. Shalat di atas kendaraanya itu menghadap. Maka apabila beliau
hendak shalat fardhu, beliau turun dari kendaraanya kemudian sholat mengahadap
ke arah qiblat.” (Riwayat Bukhori)
عن أنس ابن مالك
رضىَ اللهُ عنهُ قال: كان رسول اللهِ ص.م. إذاارتحل قبل أن تزيغ الشمس أخّر
الظّهرُ الى وقت العصرِ ثمّ نزلَ فجمعَ بيّنهما, فإن زاغت الشمسُ قبل أن يرتحل
صلىّ الظهرَ ثمّ ركِبَ.
(رواه البخارى و مسلم)
Artinya:” dari Anas Ibn Malik ra.
Berkata:Adalah Rasulullah SAW. Apabila berangkat bepergian sebelum tergelincir
matahari, beliau mentakhirkan sholat dhuhur ke waktu ashar, kemudian
berhenti lalu menjamakkan sholat dhuhur
dengan sholat ashar. Jika telah tergelincir matahari sebelum beliau berangkat,
beliaupun mengerjakan sholat Dhuhur, krmudian beliau berangkat mengendarai
kendaraan.”(Riwayat Bukhori dan Muslim).
c. Yang berupa Taqrir (pengakuan):
Yang dimaksud dengan taqrir (pengakuan) nabi ialah apabila Nabi mendiamkan
atas perbuatan atau perkataan yang dilakukan oleh sahabat[16].
Satu contoh, pada suatu ketika Nabi bersama Khalid bin Walid berada dalam suatu
jamuan makan yang dihidangkan daging biawak. Nabi tidak menegur atas adanya
jamuan dari daging biawak tersebut. Dan tatkala Nabi dipersilahkan untuk
memakannya, beliau bersabda:
لا ولكن لم يكن بأرضىِ قومىِ فأجدنى أعافُهُ
“Maafkan. Berhubung binatang ini
tidak terdapat di kampung kaumku, aku jijik padanya”.
قال خالدٌ: فاجتززتهُ فأكلتهُ ورسول اللهِ ص.م. ينظر إلىّ
“Kata Khalid : Segera aku memotongnya dan
memakannya, sedang Rasulullah SAW. Melihat padaku”.
d. Yang berupa sifat/keadaan Nabi
عن البرّاءِبنِ عازبٍ رضى اللهُ عنهما: كان رسول اللهِ ص.م. أحسن الناس وجهاً
و أحسنهُ خلقاً ليس بالطويل البائن ولا با لقصير . (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Dari Al-Bara’i bin Al-‘Azib
radliyallahu an huma berkata: Adalah Rasulullah SAW. Itu sebaik-baik manusia
mengenai parasnya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukanlah orang yang jangkung dan
bukan pula orang yang pendek”. (Riwayat Bukhori
dan Muslim).
عن أنسٍ بن مالكٍ رضى الله عنه قال: كان شعر رسول الله ص.م. رجلاً ليس بالسبط
ولا الجعد بين اذنيهِ وعا تقه. (رواه البخارى و مسلم)
Artinya:”Dari Anas bin Malik ra. Berkata:
Rambut Rasulullah SAW. Tidaklah terlalu keriting dan tidaklah terlalu lurus.
Panjangnya anatara kedua telinga dan bahu beliau”. (Riwayat Bukhori dan Muslim)
2.4
Pembagian dan Macam-macam Hadits, serta tinjauan
pembagian Hadits
A.
Latar Belakang adanya pembagian Hadits
Sejarah tentang periwayatan Hadits sangatlah berbeda dengan
sejarah periwayatan Al-Quran.
Periwayatan Al-Quran sejak zaman Nabi SAW sampai ke generasi berikutnya
tetaplah terpelihara baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk hafalan.
Periwayatan Al-Quran dari Nabi kepada sahabat berlangsung secara terbuka dan
umum, sehingga tak heran jumlah para penghafal Al-quran tak terhitung. Selain
itu, Al-Quran juga sudah tidak diragukan lagi jika sampai sekarang tetap
terpelihara keorisinalnya. Dilihat dari segi periwayatannya Al-Quran
berkedudukan sebagai:قطعىُّ الورودِ Artinya: periwayatannya tidak diragukan lagi
kebenarannya.[17]
B.
Macam-macam Tinjauan (segi) pembagian Hadits
Para Ulama Hadits telah berusaha membagi
Hadits-hadits Nabi dipandang dari berbagai segi, tetapi setelah itu pembagian
itu masih dibagi lagi dalam beberapa macam.
1. Pembagian dilihat dari jumlah perawinya
Dilihat dari segi jumlah perawinya, maka
hadits Nabi dibagi menjadi:
a)
Hadits
Mutawatir;
b)
Hadits Mashur;
c)
Hadits Ahad.
Pembagian ini telah disepakati oleh sebagian
besar Ulama Fiqh dan Ulama Ushul. Sedangkan menurut Ulama Hadits, cukup dibagi
dua, yakni: Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.
Kemudian , hadits Ahad dibagi menjadi dua,
yaitu: Hadits Masyhur dan Hadits Ghairu Masyhur. Untuk Hadits Ghairu Masyhur
dibagi lagi menjadi dua, ialah: Hadits Aziz dan Hadits gharib.
2. Pembagian dilihat dari segi yang menyampaikan berita
Menurut Istilah Prof. Hasbi, hadits dalam segi
penyampaian berita ini terbagi menjadi 3, yaitu: Hadits Marfu’; Hadits Mauquf; dan
Hadits Maqtu’.
3. Pembagian dilihat dari segi persambungan sanad
Dalam segi persambungan sanadnya , Hadits
dibagi menjadi:
1. Hadits yang bersambung sanadnya. Hadits ini dibagi lagi,
ialah: Hadits Musnad dan Hadits Muttasil (Mausul).
2. Hadits yang tidak bersambung sanadnya. Hadits ini terbagi menjadi:
- Hadits Mu’allaq
- Hadits Munqathi’
- Hadits Mu’dlal
- Hadits Mudallas
- Hadits Mursal
4. Pembagian dilihat dari segi penyandarannya kepada Allah
Di antara
Hadits Nabi, ada yang oleh Nabi sendiri diawali dengan pernyataan
berasal dari Allah, dengan pernyataan: قال اللهُ تعلى atau قال عز وجلّatau kata-kata lain yang semakna. Hadits yang
demikian ini disebut dengan Hadits Qudsy. Dan yang tidak termasuk hadits Qudsy
disebut Hadits Nabawy.
5. Pembagian dilihat dari segi alitas sanad, perawi dan matan
Melihat kenyataan, bahwa sanad Hadits ada yang
bersambung dan ada pula yang tidak bersambung, kemudian perawinya ada yang
dapat dipercaya dan ada yang tidak, serta kandungan haditsnya ada yang janggal
dan ada pula yang wajar. Dalam segi kualitas sanad, perawi dan matannya ini
para Ulma hadits telah sepakat membagi dalam 3 macam:
-
Hadits Shahih;
-
Hadits Hasan; dan
-
Hadits Dha’if.
Keseluruhan
pembagian tersebut, pada hakikatnya selain bertujuan untuk mempermudah
klasifikasinya, juga ditujukan untuk memperoleh keyakinan (dugaan yang keras)
tentang sejauh mana validitas Hadits itu berasal dari Nabi Muhammad SAW. Jadi,
kita bukan mempersoalkan tentang sabda Nabi sebagai ajaran, tetapi
mempersoalkan tentang apakah yang dinyatakan orang sebagai Hadits Nabi itu
benar-benar berasal dari Nabi SAW. Sebab, jikalau sudah yakin bahwa riwayat
tersebut benar dari Nabi SAW, maka tidak ada lagi alasan unruk tidak
mengamalkannya.[18]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Menurut
pengertian secara bahasa, sunnah berarti:
الطريقة المسلوكة, Atau jalan yang
ditempuh, baik terpuji maupun tidak sebagaimana sabda nabi SAW: “barang siapa
yang memelopori mengerjakan suatu pekerjaan yang baik, maka baginya mendapat
pahala atas perbuatan itu dan pahala orang-orang yang mengerjakannya hingga
hari Qiyamat. Dan barangsiapa memelopori mengerjakan suatu pekerjaan jahat,
maka ia berdosa atas perbuatannya itu, dan menanggung dosa orang-orang yang
mengikutinya hingga hari Qiyamat.” Menurut Istilah, para Ulama memberikan
pengertian yang berbeda-beda menurut sudut mereka sendiri-sendiri.
Sedangkan ada
beberapa istilah yang merupakan sinonim dari Hadits yaitu ; As-Sunnah, Atsar,
dan Al-Khabar.
Ada beberapa periode untuk
mengambarkan perjalanan hadist hingga pembukuaanya yaitu:
Periode pertama: Yaitu saat turunya wahyu dan
pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari permulaan kenabian hingga beliau wafat
pada tahun 11 Hijriyah.
Periode kedua: Hadist di masa khulâfa ar-râsyidin
yang dikenal dengan masa pembatasan riwayat.
Periode ketiga: masa perkembangan riwayat, yaitu masa sahabat kecil dan
tabiin besar.
Periode keempat: Masa pembukuan hadis (permulaan abad
kedua Hijriyah).
Periode kelima: Masa pentashhikan dan penyaringan
(awal abad ketiga).
Periode keenam : Masa memilah kitab-kitab hadist
dan menyusun kitab-kitab jami’ (nama istilah kitan hadist yang masih bercampur
antara hadist sahih, hasan, dhaif ataupun maudhu) yang khusus (awal abad keenam
sampai tahun 656 h.)
Periode ketujuh: Masa membuat syarah, kitab-kitab
takhrij, pengumpulan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab jami’ yang umum.
Macam-macam hadits nabi SAW ada 4,
ialah: hadits yang berupa perkataan, hadits yang berupa perbuatan, hadits yang berupa pengakuan, dan hadits yang berupa
sifat atau keadaan.
Pembukuan hadits sangatlah berbeda
dengan pembukuan Al-Quran, karena dilihat dari segi periwayatannya alqur’an
tidaklah diragukan lagi. Adapun macam-macam tinjauan pembagian hadits ada lima
macam, yaitu: Pembagian dilihat dari jumlah perawinya, Pembagian dilihat dari segi yang menyampaikan
berita, Pembagian dilihat dari segi persambungan sanad, Pembagian dilihat dari segi penyandarannya kepada Allah, Pembagian dilihat dari segi alitas sanad, perawi dan matan.
DAFTAR PUSTAKA
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadits,
Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Zuhdi
Masjfuk,1976; Pengantar Ilmu Hadist;Surabaya;Pustaka Progressif
Idri ,2010; Studi Hadist; Jakarta; Prenada Media Group
Mudasir,1999; Ilmu Hadits;Bandung:
Pustaka Setia
Khumaidi, Irham;2008; Ilmu Hadits Untuk
pemula; Jakarta: CV Artha Rivera
Shiddiqiey, TM. Hasbi;2001;sejarah dan
pengantar Ilmu hadits; Semarang: Pustaka Rizki Putra
Ismail,M. Stuhudi:1985;pengantar ilmu
hadits; Jakarta:Angkasa, hlm 7
[13] Shiddiqiey,
TM. Hasbi;2001;sejarah dan pengantar Ilmu hadits; Semarang: Pustaka
Rizki Putra, hlmn 43